Kekerasan berbasis gender (KBG) adalah setiap perbuatan berdasarkan jenis kelamin, yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan, atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual, psikologis, ancaman perbuatan tertentu, pemaksaan dan perampasan kemerdekaan yang terjadi di ranah publik dan di ranah domestik. Di Indonesia hingga saat ini masih banyak terjadi kasus kekerasan berbasis gender. Ada beberapa bentuk kekerasan berbasis gender yaitu: (1) seksual; (2) fisik; (3) praktek tradisional yang membahayakan; (4) sosial ekonomi dan (5) emosional dan psikologis.
Catatan Tahunan (CATAHU) KOMNAS Perempuan mencatat bahwa setiap tahun kekerasan berbasis gender mengalami kenaikan. Berdasarkan CATAHU KOMNAS Perempuan, jumlah kasus KBG yang dilaporkan ke KOMNAS Perempuan pada 2023 sebanyak 3.303 kasus, dari 409.975 kasus kekerasan terhadap perempuan, dengan rincian: kekerasan seksual berbasis elektronik (KSBE) atau kekerasan berbasis gender online (KBGO) sebanyak 442 kasus, pelecehan seksual fisik sebanyak 345 kasus, perkosaan sebanyak 211 kasus, persetubuhan sebanyak 67 kasus, incest sebanyak 66 kasus, eksploitasi seksual sebanyak 64 kasus, pencabulan sebanyak 61 kasus, marital rape (kekerasan seksual dalam perkawinan) sebanyak 59 kasus. Dan
dari keseluruhan data ini korban yang melapor berasal dari berbagai daerah di Indonesia.
Faktor penyebab terjadinya kasus berbasis gender adalah konstruksi dan norma budaya budaya patriarki, stereotip, norma dan budaya tradisi, dan faktor lainnya. Norma budaya yang sangat menguat juga menimbulkan sulitnya menciptakan ruang yang terbuka, adil bagi korban untuk memeroleh hak – haknya, baik untuk pemulihan psikis, fisik, dan penanganan hukum. Seperti halnya yang terjadi di kepulauan Nias, menurut data catatan penelitian Pusat Kajian Perlindungan Anak (PKPA) pada 2006 munculnya kasus kekerasan berbasis gender terpinggirkan dan terus berada di ranah domestik dengan beban kerja yang tinggi. Mereka juga masih menerima tindakan kekerasan dari orang-orang terdekat. Hal ini dibuktikan dengan tercatatnya kenaikan data dari 55 kasus (2006) menjadi 99 kasus (2007). Kekerasan fisik
terjadi pada 12,6 persen remaja dan 23,4 persen perempuan. Secara langsung, bekas kekerasan itu terlihat dari bekas luka, memar, dan berdarah, sementara kekerasan verbal dialami oleh 55,8 persen remaja dan 51,4 persen perempuan. Jika belum menikah, kekerasan dilakukan oleh orangtua. Setelah menikah, kekerasan dilakukan oleh suami, orangtua, dan mertua.
Penelitian juga menunjukkan seorang anak perempuan dan istri yang baik dilarang menjawab apa yang dikatakan suami atau orangtuanya karena akan memicu terjadinya kekerasan terhadap fisik mereka. Penelitian tersebut dilakukan pada 218 responden di Kecamatan Gunungsitoli, Kecamatan Sirombu, dan Kecamatan Tuhemberua itu juga mengungkapkan bahwa kekerasan dalam keluarga masih dianggap sebagai masalah keluarga itu sendiri. Adapun kekerasan verbal dianggap sebagai bukan kekerasan, hanya sebagian orang yang menyatakan itu bukan kekerasan. Sementara kekerasan seksual masih ditutupi dan dianggap tidak ada. Apabila dilaporkan ke pihak polisi, akhirnya aduan dicabut dan masalah itu diselesaikan secara
kekeluargaan. Saat ini, proses penyelesaian khusus kekerasan seksual tidak diperbolehkan dilakukan di luar persidangan. Hal ini tertulis pada pasal 23 UU TPKS (Tindak Pidana Kekera-
san Seksual) no. 12 Tahun 2022 yang menyatakan bahwa perkara tindak pidana kekerasan seksual tidak dapat diselesaikan di luar proses peradilan. Hal ini menegaskan bahwa tidak ada
alternatif lain untuk menegakkan hukum selain menerapkan hukum pidana. UUTPKS mengakomodir pemenuhan hak korban, baik pemulihan, penanganan hukum, hingga memperoleh restitusi dimana korban mendapat ganti rugi dari kekerasan yang dialami korban,
yang dibayarkan oleh pelaku, berdasarkan ketentuan dan putusan pengadilan yang dibayarkan oleh pelaku.
Mengenal hak restitusi ini penting untuk lintas sektor termasuk APH (Aparat Penegak Hukum) dan juga Perangkat Peradilan Tindak Pidana dapat menghubungkan akses layanan pemulihan kepada korban kekerasan dengan kasus pidana kekerasan yangtetap diawasi dan diproses oleh pengadilan. Pada Pasal 5 ayat 2 Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 55 Tahun 2024 tentang UPTD PPA, UPTD PPA provinsi dan UPTD PPA kabupaten/kota bertugas: a) menerima laporan atau penjangkauan Korban; b) memberikan informasi tentang hak Korban; c) memfasilitasi pemberian layanan kesehatan; d).memfasilitasi pemberian layanan penguatan psikologis; e) memfasilitasi pemberian layanan psikososial, rehabilitasi sosial, pemberdayaan sosial, dan reintegrasi sosial; f) menyediakan layanan hukum; g) mengidentifikasi kebutuhan pemberdayaan ekonomi; h) mengidentifikasi kebutuhan penampungan sementara untuk Korban dan Keluarga Korban yang perlu dipenuhi segera; i) memfasilitasi kebutuhan Korban Penyandang Disabilitas ; j) mengoordinasikan dan bekerjasama atas pemenuhan hak Korban dengan lembaga lainnya; dan k) memantau pemenuhan hak Korban oleh aparatur penegak hukum selama proses acara peradilan. Kemen PPPA secara serius terus menguatkan kelembagaan dan layanan bagi perempuan dan anak korban kekerasan melalui Dinas pengampu urusan Perempuan dan Anak di daerah (Dinas PPPA) dan UPTD PPA. Terkait kewajiban semua
provinsi, kabupaten dan kota agar UPTD PPA dapat terealisasi, KemenPPPA pada praktiknya terus berkoordinasi dengan Kementerian Dalam Negeri.
Kemen PPPA juga berharap seluruh pihak dapat bersinergi dan berkolaborasi bersama demi mendukung amanat Undang-Undang TPKS dalam memberikan kepentingan terbaik bagi korban kekerasan seksual khususnya perempuan dan anak.Pentingnya pedoman pendampingan
juga diperlukan untuk menguatkan serta membantu proses pemulihan terhadap korban, minimnya lembaga layanan yang benar-benar komitmen dalam memberikan pendampingan dan penanganan, terutama lembaga-lembaga berbasis masyarakat atau organisasi atau komunitas yang belum mendapatkan kapasitas seputar prinsip penanganan menjadi tan-
tangan serius dalam melakukan kerja penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan. Disisi lain minimnya edukasi, baik formal maupun informal, menjadikan pemahaman masyarakat terkait kekerasan terhadap perempuan sangat lemah.
Perempuan yang menjadi korban sering disalahkan dan tidak dianggap serius. Selain aspek penanganan, dibutuhkan tindakan pencegahan terhadap kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Edukasi tentang hak kesehatan seksual dan reproduksi (HKSR) dapat membantu upaya pencegahan dan penanganan dari sikap terbuka masyarakat. HKSR, tidak hanya berbicara terkait reproduksi, juga membahas terkait konsep kesetaraan, fungsi dan peran melalui pengenalan gender dan kodrat.
Aspek Edukasi sebagai proses pencegahan diharapkan mampu menghilangkan budaya patriarki yang mengesampingkan hak-hak perempuan dalam mengambil keputusan atas kepemilikan tubuh dan pilihan yang diambil, menempatkan pasifnya peran perempuan dalam keluarga. Masyarakat dominan menganggap laki-laki adalah penguasa terhadap perempuan, terbukti dalam sistem adat istiadat yang mengikat kehidupan masyarakat dengan sistem kekuasaan yang berproses pada laki-laki. Sehingga perempuan sering kali hadir sebagai pelengkap dan dianggap tidak berdaya akibat ketergantuannya kepada laki-laki, memperluas praktik kekerasan seksual yang mengikat perempuan yang tak jarang dibalut dalam sebuah pernikahan akibat kekerasan dan pelecehan yang ia terima. Kehamilan yang tidak diinginkan membuat lemahnya hak perempuan sebagai korban kurang mendapat atensi dari sekitar, kurangnya dukungan dari pihak keluarga yang acapkali menutupi peristiwa tersebut sebagai aib yang enggan untuk dibicarakan dan cenderung menyalahkan perempuan.
Upaya pencegahan dan penanganan kasus kekerasan membutuhkan dukungan dari masyarakat, adanya inisiatif dari grassroad, untuk bergerak bersama dalam menyediakan lembaga layanan untuk perempuan dan anak korban kekerasan, hal ini akan membantu proses pemantauan dan penyaluran informasi terkait pendampingan dan penanganan kasus kekerasan. Aktifnya masyarakat dalam mengontrol kasus kekerasan yang bergerak dalam komunitas berguna untuk memandu proses pendampingan hingga pada proses peradilan.
Pembentukan ini juga harus diiringi dengan adanya sinergi dari pemerintah sebagai bentuk komitmen dalam pendampingan kekerasan terhadap perempuan dan anak. Pencegahan dan penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak membutuhkan partisipasi dan
upaya bersama melakukan langkah strategis, dan dimulai dari diri sendiri, komunitas/kelompok dan membangun sinergi bersama untuk mewujudkan keadilan dan kesetaraan bagi perempuan.
Sumber :
https://knlwfindonesia.org/2024/12/21/sama-magazine-november-januari-2024/